Oleh : Aku
Teman-teman aku ingin menceritakan sedikit pengalaman berjuang menjadi relawan. Aku tak perlu memperkenalkan nama, sebab bagiku nama hanyalah pemisah yang membatasi aku dan kita.
Waktu itu, tepat tanggal 4 Desember 2021, sore hari menjelang maghrib untuk pertama kali aku mendengar kabar gunung Semeru erupsi, awalnya bagiku hal tersebut wajar, sebab Nusantara memang luar biasa jumlah gunung aktifnya. Kemudian kutelusuri berita di media online, beredar video erupsi sang Mahameru yang semakin bikin aku merinding. Hingga akhirnya aku ingat bahwa aku pernah menjadi korban letusan gunung merapi saat tinggal di rumah paman di Jogja, meski dengan jarak yang sangat jauh, tapi cukup membuat aku sadar betapa sedihnya bertahan menjadi korban erupsi.
Beberapa hari setelah mendengar kabar letusan gunung Semeru, aku mendapati kisah sedih yang aku juga yakin kalian mendengarnya. Benar sekali... Rumini! seorang gadis yang meninggal lantaran rela bertahan menghadapi panasnya erupsi demi menemani sang ibu yang sakit dan tidak sanggup berlari.
Kisah heroik tersebut tentu sangat berbeda dengan kisah pendaki 5 cm yang berjuang menggapai puncak Semeru. Aku melihat orang-orang iba dengan Rumini, anak yang mungkin sangat susah disamai.
Tidak hanya Rumini, masih banyak orang-orang yang juga menjadi korban, entah yang selamat atau sudah meninggal. Semoga mereka husnul Khotimah. Aamiin.
Naluri kemanusiaanku tergerak, aku ingin membantu, tapi uangku tak cukup, jadi aku putuskan untuk menjadi relawan, membantu dengan tenaga mengumpulkan uang donasi untuk korban Semeru. Sebab aku seorang pelajar, jadi kuajak teman-teman untuk juga turun jalan mengumpulkan pundi-pundi kepedulian.
"Yuk ngumpulin koin untuk korban Semeru" Ajakku kepada sahabatku, Dani.
"Ngapain? Orang-orang di sini pelit." Katanya tak setuju.
"Kalau gak dicoba kan gak tau." Kataku memaksa.
Akhirnya Dani setuju dan juga mengajak teman-teman lain di sekolah. Ternyata dugaanku benar, pertama kali mengumpulkan dana, kami disambut dengan uluran tangan para dermawan di sekolah. Tidak banyak memang tapi cukuplah jika sekedar mencukupi kebutuhan makan 5 keluarga korban Semeru.
"Nanti kita ke pasar, Yuk! Nanggung ini duitnya pasti bisa lebih banyak." Pintaku dan alhamdulillah mereka setuju.
Sore hari, kali kedua aku berangkat dari rumah. Beralaskan niat dan berbekal semangat, bersama teman-teman yang juga tidak sekedar mau peduli, tapi juga mau membantu. Satu dua orang yang kami temui, mereka ada yang menyemangati, beberapa juga ada yang membunuh mental kami. Namun begitulah relawan, benar-benar harus rela lahir batin.
Sore menjelang malam, ufuk barat menampakkan Mega, kemilau merah keemasan, sungguh indah dan mampu mengobati lelah. Semoga indahnya senja sore ini turut dirasakan korban Semeru. Ya! Mereka yang di sana lebih membutuhkan itu.
"Cukup untuk hari ini, kita kembali ke sekolah dulu." Seru Doni.
Namun sebelum kembali, tak lupa kami patungan membeli es cincau, itung-itung melepas dahaga setelah seharian keringat kami bercucur.
Sesampainya di sekolah, kami menghitung uang yang terkumpul, tak banyak memang tapi beginilah kemampuan kami, setidaknya selain membantu korban Semeru, kami juga semakin belajar menumbuhkan rasa kebersamaan, gotong royong dan rasa empati yang selalu guru kami ajarkan. Sekian cerita koin peduli ini, selalu ingat pepatah bahwa siapa yang menanam, dialah yang akan memetik. Semoga setiap rupiah yang kami kumpulkan bernilai ibadah dan mampu meringankan korban bencana gunung Semeru.
Assalamu'alaikum wr.wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan Rahmat dan AnugerahNya sehingga website MA Lughatul Islamiyah ini dapat…
Bagaimana pendapat anda terkait pelaksanaan UMBKS Online Tahun Pelajaran 2020-2021 di Lembaga MA Lughatul Islamiyah
Copyright �2019-2020 MA LUGHATUL ISLAMIYAH
Proudly Powered by: Lughis Media